aminherwansyah

Proyek Profil Pelajar Pancasila Jangan Miskonsepsi

Blog Amin Herwansyah | 28 Januari 2023

 Oleh: IDRIS APANDI

(Penulis Buku Strategi Mewujudkan Karakter Pelajar Pancasilais)

Salah satu program yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari implementasi kurikulum merdeka adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).  Ada 6 (enam) dimensi yang dijadikan sebagai penjabaran P5, yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif. Hal tersebut diatur dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek nomor 009/H/KR/2022 tentang Dimensi, Elemen, dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum Merdeka. 


Selain keenam dimensi tersebut, sejalan dengan kemerdekaan yang diberikan, satuan pendidikan atau guru dapat mengembangkan dimensi yang lainnya disesuaikan dengan konteks, karakter, dan kondisi satuan pendidikan mengingat beragamnya karakteristik setiap satuan pendidikan. 

Sekolah dapat mengalokasikan 20-30% jam pelajaran untuk pelaksanaan P5. Program ini bersifat kokurikuler, terpisah dari kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Dalam satu semester, satuan  pendidikan minimal memilih satu tema untuk dilaksanakan.  Tema yang bisa dipilih untuk PAUD ada 4 (empat), yaitu; (1) Aku Sayang Bumi, (2) Aku Cinta Indonesia, (3) Bermain dan Bekerjasama/ Kita Semua Bersaudara, dan (4) Imajinasiku/Imajinasi dan Kreativitasku. Pada jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, ada 8 (delapan) tema, yaitu; (1) Gaya Hidup Berkelanjutan, (2) Kearifan Lokal, (3) Bhinneka Tunggal Ika, (4) Bangunlah Jiwa dan Raganya, (5) Suara Demokrasi, (6) Rekayasa dan Teknologi, (7) Kewirausahaan (jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan sederajat), dan (8) Kebekerjaan (khusus SMK).

Poin utama P5 adalah pendidikan karakter bangsa dengan berdasarkan Pancasila. Melalui P5 diharapkan muncul generasi bangsa yang mengetahui, memahami, mengimplementasikan, dan melestarikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, dan falsafah/pandangan hidup menjadi ruh, motivasi, inspirasi, sekaligus energi dalam pembangunan bangsa Indonesia.

Kegiatan P5 di satuan pendidikan dilakukan melalui berbagai kegiatan atau disebut proyek yang merupakan penjabaran dimensi, elemen, dan subelemen Pelajar Pancasila. Walau demikian, pada praktiknya satuan pendidikan atau guru jangan sampai salah memahami konsep atau miskonsepsi. Sekali lagi, hal yang perlu digarisbawahi bahwa  subtansi dari P5 tersebut, yaitu pengembangan karakter peserta didik. Bukan terjebak ke dalam berbagai kegiatan acara yang justru bersifat seremonial yang menambah beban kerja guru dan peserta didik tanpa mencapai tujuan yang diharapkan. 

Kepala BSKAP Anindito Aditomo pada sebuah video yang dibuat oleh BSKAP pun berpesan bahwa P5 tidak harus menghasilkan produk, kegiatannya tidak harus berbiaya besar, dan tidak harus mengandalkan teknologi. Ukuran keberhasilannya bukan terletak kepada kemeriahan acara atau besarnya biaya yang dikeluarkan, tetapi pengembangan karakter yang dirasakan oleh peserta didik. Hal ini yang perlu dicatat dan dijadikan patokan oleh satuan pendidikan atau oleh guru.

Fakta empirik menunjukkan ada gejala miskonsepsi dari P5 di satuan pendidikan, diantaranya; 
  • P5 identik atau didominasi oleh pagelaran seni, menggunakan baju adat, menggunakan panggung, sound system, dan mengundang orang untuk menontonnya. Hal tersebut tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit.
  • Kegiatan P5 harus dipentaskan dengan label “panen karya”, ”gelar karya”, “ekspo”, atau “eksebisi”. Hal ini juga tidak lepas dari dana. 
  • Kegiatan P5 harus dilakukan oleh peserta didik secara berkelompok, karena ada pandangan bahwa proyek adalah pekerjaan yang dilakukan secara berkelompok. 
  • Dalam melaksanakan proyek, peserta didik harus menyediakan alat dan bahan. Dan tentunya hal tersebut tidak lepas dari biaya, walau bisa juga menggunakan barang bekas. Persiapan dan pelaksanaan P5 dengan konsep yang seperti itu tentunya akan menguras waktu, biaya, dan tenaga guru dan peserta didik. 

Kegiatan-kegiatan tersebut hanya menjadi salah satu alternatif, bukan satu-satunya alternatif kegiatan P5. Bagi satuan pendidikan yang siap dengan SDM, anggaran, dan infrastruktur penunjangnya silakan melaksanakan kegiatan P5 yang sifatnya gebyar, tetapi bagi satuan pendidikan yang kemampuan dan daya dukungnya terbatas, maka boleh menyesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kemampuannya. Intinya, P5 jangan dibuat jadi beban bagi satuan pendidikan dan ujungnya membebani peserta didik.

Satuan pendidikan atau guru dapat melakukan kegiatan P5 yang mudah, murah, dan sederhana, tetapi tidak mengurangi maknanya. Sekali lagi, kegiatan P5 jangan terjebak kepada kemasan yang gebyar, terkesan wah atau wow, tetapi jauh atau kurang memperhatikan hakikat, inti, atau substansinya, yaitu membangun atau mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan Pancasila. Akibatnya, keberhasilan penyelenggaraan sebuah acara hanya menjadi keberhasilan semu saja, karena tidak menyentuh inti atau substansinya, yaitu perubahan atau pengembangan karakter peserta didik. Dampaknya, tujuan P5 tidak tercapai.

Guru dapat merancang kegiatan P5 bagi peserta didik melalui aktivitas di rumah seperti pelaksanaan ibadah, membereskan tempat tidur, membantu mencuci piring, mengepel lantai, menyiram tanaman, atau pekerjaan rumah lainnya. Peserta didik bisa diarahkan untuk membuat proyek pribadi seperti membuat kegiatan mandiri yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila, membuat prakarya, mengembangkan kreativitas dengan membuat satu produk tertentu dengan memanfaatkan limbah atau barang bekas, membuat karya yang menyampaikan pesan sosial-kemanusiaan, dan benda yang bermanfaat untuk mengatasi masalah di rumah atau lingkungan tempat tinggalnya.

Peserta didik juga bisa diarahkan untuk menyusun proyek sosial seperti membantu tetangga yang memerlukan bantuan, aktif pada kegiatan karang taruna, berpartisipasi pada kegiatan gotong royong, kegiatan sosial, kegiatan keagamaan, dan sebagainya. Poin utamanya, peserta diarahkan untuk memiliki kecakapan hidup (life skill), tanggung jawab, peduli, empati, rela berkorban, bermanfaat bagi sesama, dan sebagainya. Inilah sejatinya manusia Pancasilais.

Teknisnya pelaksanaannya diserahkan kepada setiap guru. Jangan terjebak kepada administrasi atau format-format yang membuat P5 menjadi kaku. Padahal yang diharapkan adalah P5 dilaksanakan dengan senang, gembira, membangun daya kritis dan kreatif peserta didik. Setiap guru bisa menyusun rancangan pelaksanaan P5 beserta penilaiannya. Kemendikbud pun sudah menyediakan pedoman pelaksanaan P5 sebagai bahan inspirasi dan bisa diadaptasi oleh guru.

Penilaian P5 jangan terjebak kepada angka-angka (kuantitatif), karena karakter adalah sebuah hal yang terus berkembang bahkan memerlukan waktu yang relatif lama. Hasil P5 tidak bisa diukur dengan tes. Keberhasilan P5 sebagai sebuah pendidikan karakter adalah ketika nilai-nilai Pancasila sudah terinternalisasi ke dalam diri setiap peserta didik dan tercermin dalam kehidupannya. 

Penilaian P5 bisa dinilai melalui observasi, catatan anekdot, jurnal, penilaian teman, atau instrumen refleksi diri. Gambaran hasilnya misalnya mulai dari mulai berkembang, mulai terbiasa, konsisten, hingga sudah membudaya disertai deskripsi keunggulan dan hal yang masih harus dibina lebih lanjut. Mari jadikan P5 sebagai program substantif melalui cara yang kreatif. Wallaahu a’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar