Pembelajaran sosial emosional (PSE) adalah sebuah istilah mengenai cara seseorang mempelajari keterampilan sosial emosional seperti mengelola emosi, mengatasi stres, membuat keputusan, menyusun tujuan, dan membangun hubungan yang sehat. Pembelajaran sosial emosional adalah bagian tidak terpisahkan dari pendidikan dan perkembangan manusia. Bahkan seringkali keterampilan sosial emosional dianggap dapat tumbuh dengan sendirinya. Padahal, keterampilan sosial emosional bukanlah hal yang dimiliki manusia secara alami (Mendel, 2023). Keterampilan sosial emosional bisa dan perlu dipelajari serta didukung untuk berkembang dalam lingkungan yang kondusif.
Melalui pembelajaran sosial emosional, seseorang mendapatkan dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk mengembangkan identitas diri yang sehat, mengelola emosi, mencapai tujuan pribadi maupun tujuan bersama, berempati pada orang lain, memelihara relasi yang sehat serta membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Kerangka Pembelajaran Sosial Emosional
Salah satu kerangka yang paling banyak digunakan untuk memahami Pembelajaran Sosial Emosional adalah kerangka CASEL (Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning) yang memperkenalkan Pembelajaran Sosial Emosional lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Ada lima area penting yang saling berhubungan, yaitu :
1. Kesadaran Diri (Self-Awareness)
- Pengertian: Kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi sendiri, serta bagaimana emosi tersebut mempengaruhi pikiran dan perilaku.
- Komponen: Termasuk kesadaran diri emosional, pengakuan terhadap kekuatan dan kelemahan pribadi, serta memiliki rasa percaya diri dan pandangan yang realistis tentang diri sendiri.
2. Pengelolaan Diri (Self-Management)
- Pengertian: Kemampuan untuk mengatur emosi, pikiran, dan perilaku dalam situasi yang berbeda.
- Komponen: Mencakup pengendalian diri, pengelolaan stres, motivasi diri, penetapan tujuan, dan keterampilan organisasi.
3. Kesadaran Sosial (Social Awareness)
- Pengertian: Kemampuan untuk memahami dan menunjukkan empati terhadap orang lain, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang dan budaya yang berbeda.
- Komponen: Mencakup perspektif sosial, pengakuan terhadap norma-norma sosial, dan mengidentifikasi serta menggunakan sumber daya dukungan yang ada di keluarga, sekolah, dan komunitas.
4. Keterampilan Berelasi (Relationship Skills)
- Pengertian: Kemampuan untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat dan saling mendukung.
- Komponen: Termasuk komunikasi yang jelas, mendengarkan aktif, kerjasama, negosiasi konflik, serta mencari dan menawarkan bantuan ketika dibutuhkan.
5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab (Responsible Decision-Making)
- Pengertian: Kemampuan untuk membuat pilihan yang konstruktif dan penuh pertimbangan mengenai perilaku pribadi dan interaksi sosial berdasarkan standar etika, keselamatan, dan norma sosial.
- Komponen: Termasuk mengidentifikasi masalah, menganalisis situasi, mengevaluasi konsekuensi dari berbagai tindakan, dan mempertimbangkan kesejahteraan diri dan orang lain.
Lima hal ini dapat dipelajari baik oleh anak-anak maupun orang dewasa di berbagai konteks budaya. Meskipun demikian, tidak ada satu cara yang sama dan seragam untuk melakukan pembelajaran sosial emosional ini. Kita perlu memperhatikan konteks di setiap tempat, maupun di setiap sekolah.
Pembelajaran sosial emosional menurut CASEL, dilakukan secara kolaboratif melalui kemitraan sekolah, keluarga, dan komunitas untuk menciptakan lingkungan dan pengalaman belajar yang penuh rasa percaya, bermakna dan memberi kesempatan untuk bertumbuh bagi setiap siswa.
Pembelajaran Sosial Emosional memerlukan guru yang tidak hanya mampu mengajarkan kompetensi PSE kepada siswa, tetapi juga telah mengembangkan kompetensi sosial emosional pada dirinya sendiri. Ada beberapa alasan mengapa hal ini sangat penting:
Pertama, dalam Pembelajaran Sosial Emosional, guru perlu menjadi teladan. Sehari-hari siswa akan melihat cara guru mengelola diri, mengambil keputusan yang bertanggung jawab, berempati, dan mengembangkan relasi yang sehat. Guru akan memberi contoh nyata tentang bagaimana menerapkan PSE dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mulai melakukan Pembelajaran Sosial Emosional di kelas atau di sekolah, salah satu fondasi penting yang perlu dibangun adalah hubungan positif antara guru dan siswa. Guru yang memiliki kesadaran sosial dan keterampilan berhubungan yang kuat dapat membangun hubungan yang suportif dan penuh rasa hormat dengan siswa, yang mendukung pembelajaran yang lebih baik.
Guru yang memiliki kesadaran diri yang baik mampu mengenali emosi dan bias pribadi, serta bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi interaksi mereka dengan siswa. Maka guru perlu menjadi pribadi yang reflektif, sehingga ia dapat terus mengembangkan dan menyesuaikan strategi pengajaran mereka untuk memenuhi kebutuhan sosial emosional siswa secara lebih efektif.
Kompetensi sosial emosional yang dimiliki guru juga akan membantunya mengelola kelas dengan cara yang positif dan konstruktif. Dengan keterampilan pengelolaan diri dan pengambilan keputusan yang baik, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang teratur dan kondusif, mengurangi perilaku negatif, dan meningkatkan keterlibatan siswa.
Guru juga perlu menyadari bahwa mengajar adalah profesi yang menuntut dan rentan terhadap stres. Kompetensi sosial emosional membantu guru mengatasi stres dan menjaga kesejahteraan mereka sendiri. Guru yang mampu mengelola stres dengan baik lebih mampu memberikan perhatian penuh kepada siswa, mempertahankan energi dan motivasi dalam mengajar, dan menjaga lingkungan belajar yang positif.
Guru tidak tumbuh di ruang hampa atau dapat mengembangkan diri sendiri tanpa dukungan dari lingkungan tempat ia tinggal atau bekerja. Sebagai asesor, Bapak dan Ibu juga dapat melihat bagaimana implementasi pengembangan guru untuk menumbuhkan kompetensi sosial emosional melalui :
- Pelatihan dan Pengembangan Profesional. Menyediakan pelatihan yang berfokus pada pengembangan kompetensi sosial emosional untuk guru, termasuk kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
- Pendekatan Berbasis Sekolah. Mengintegrasikan pengembangan PSE untuk guru dalam budaya dan kebijakan sekolah, memastikan bahwa semua anggota staf memahami pentingnya dan memiliki dukungan untuk mengembangkan kompetensi ini.
- Dukungan dan Supervisi Berkelanjutan. Memberikan dukungan berkelanjutan melalui supervisi, pendampingan, dan komunitas praktik di mana guru dapat berbagi pengalaman dan strategi untuk mengembangkan dan menerapkan kompetensi PSE.
Dengan mengembangkan kompetensi sosial emosional mereka sendiri, guru lebih siap untuk mengajarkan dan mendukung perkembangan sosial emosional siswa, menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat, lebih produktif, dan lebih mendukung.
Implementasi pembelajaran sosial emosional
Implementasi pembelajaran sosial emosional dalam kurikulum dan strategi kelas sehari-hari dapat dilakukan dengan cara yang holistik dan sistematis. Guru dapat mengintegrasikan pembelajaran sosial emosional secara eksplisit dalam berbagai mata pelajaran dan kegiatan pembelajaran. Kurikulum harus mencakup program SEL terstruktur yang mengajarkan keterampilan seperti kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Misalnya, dalam pelajaran bahasa, siswa dapat diminta menulis refleksi pribadi tentang perasaan mereka dalam situasi tertentu atau menganalisis karakter dalam literatur untuk memahami perspektif dan emosi mereka. Dalam pelajaran sains, siswa dapat bekerja dalam kelompok untuk memecahkan masalah, yang mengajarkan mereka tentang kerjasama dan komunikasi. Dalam pelajaran ilmu sosial, guru dapat mengajarkan empati dan keadilan sosial melalui diskusi sejarah dan isu-isu kontemporer. Dengan memasukkan PSE secara eksplisit ke dalam kurikulum, siswa dapat melihat relevansi keterampilan ini dalam berbagai konteks dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Rutinitas harian di kelas juga memainkan peran penting dalam implementasi PSE. Guru harus menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif di mana semua siswa merasa dihargai dan didengarkan. Hal ini dapat dilakukan melalui rutinitas seperti memulai dan mengakhiri hari dengan refleksi singkat tentang pengalaman dan perasaan siswa. Dalam kesempatan ini siswa diberi kesempatan untuk berbagi perasaan mereka dan mendengarkan satu sama lain dalam suasana yang aman dan mendukung. Aktivitas ini membantu siswa mengembangkan kesadaran diri dan empati.
Selain itu, guru dapat menggunakan momen pengajaran untuk menyoroti dan mengajarkan keterampilan PSE secara langsung, seperti teknik pengelolaan stres saat menghadapi ujian atau cara berkomunikasi secara efektif dalam diskusi kelompok. Pengajaran eksplisit ini memastikan bahwa siswa tidak hanya belajar keterampilan akademis tetapi juga keterampilan yang penting untuk kesejahteraan emosional dan sosial mereka. Guru juga berperan dalam menggunakan strategi pengelolaan kelas yang positif, dan memberikan apresiasi serta umpan balik yang membangun.
Dampak Pembelajaran Sosial Emosional bagi Siswa
- Meningkatkan kesejahteraan diri (well being) siswa. Pembelajaran sosial emosional memiliki manfaat yang sangat signifikan bagi siswa, salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan emosional dan mental. Melalui PSE, siswa diajarkan untuk mengenali dan memahami emosi mereka sendiri, serta mengembangkan keterampilan dalam mengelola stres dan kecemasan. Kemampuan ini sangat penting dalam membantu siswa menghadapi berbagai tantangan yang mereka temui di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memiliki keterampilan pengelolaan diri yang baik, siswa dapat lebih mudah menjaga kesehatan mental mereka, mengurangi risiko masalah seperti depresi dan kecemasan, dan meningkatkan rasa percaya diri serta kesejahteraan umum.
- Peningkatan kemampuan akademis. Manfaat kedua dari pembelajaran sosial emosional adalah peningkatan kemampuan akademis. Siswa yang memiliki keterampilan sosial dan emosional yang baik cenderung lebih mampu untuk fokus pada tugas akademik mereka, bekerja dengan efektif dalam kelompok, dan mengelola waktu serta tugas-tugas mereka dengan lebih baik. Penelitian menunjukkan bahwa PSE dapat meningkatkan motivasi belajar, keterlibatan dalam proses belajar, dan hasil akademik secara keseluruhan. Dengan keterampilan seperti pengelolaan diri, kesadaran sosial, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, siswa dapat mengatasi hambatan belajar lebih efektif dan memaksimalkan potensi akademis mereka.
- Memperbaiki hubungan sosial dan mengurangi perilaku bermasalah. Manfaat ketiga dari pembelajaran sosial emosional adalah peningkatan hubungan sosial dan mengurangi perilaku bermasalah. PSE membantu siswa mengembangkan keterampilan interpersonal seperti empati, komunikasi yang efektif, dan kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain. Keterampilan ini sangat penting dalam membangun hubungan positif dengan teman sebaya, guru, dan anggota komunitas sekolah lainnya. Selain itu, PSE dapat membantu mengurangi perilaku negatif seperti perundungan, agresi, dan konflik dengan mengajarkan siswa cara yang konstruktif untuk mengelola perbedaan dan menyelesaikan konflik. Dengan lingkungan sosial yang lebih positif dan mendukung, siswa merasa lebih aman dan nyaman di sekolah, yang pada akhirnya mendukung pembelajaran dan perkembangan mereka secara keseluruhan.
C. Pola Pikir Bertumbuh (Growth Mindset)
Pola Pikir Bertumbuh atau Growth Mindset pertama kali diperkenalkan oleh Carol Dweck. Ia mengenalkan dua istilah pola pikir yaitu Pola Pikir Bertumbuh (growth mindset) dan Pola Pikir Tetap (fixed mindset) lewat bukunya yang berjudul “Mindset: The New Psychology of Success”.
Pola Pikir Bertumbuh (PPB) atau growth mindset adalah lawan dari Pola Pikir Tetap (PPT). PPB adalah pola pikir seseorang yang menyadari bahwa kemampuan atau bakat yang dimilikinya sejak kecil merupakan kemampuan dan bakat yang dapat terus berkembang dengan kerja keras dan dedikasi yang dilakukannya. Mereka yang memiliki pola pikir berkembang ini selalu berusaha untuk terus belajar dan memahami dunia di sekelilingnya.Pengembangan bakat tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan kerja keras, menggunakan strategi yang tepat saat bekerja atau melakukan tugas, hingga mendengarkan masukan dari orang lain.
Hal itu sangat berbeda dengan PPT (fixed mindset) yang lebih mengandalkan pada bakat untuk meraih kesuksesan. Carol Dweck menyebutkan bahwa PPT adalah keyakinan bahwa bakat dan kecerdasan bersifat tetap. Jadi anak yang merasa tak mampu dalam mengerjakan sebuah tugas akan menganggap dirinya bodoh dan memang begitulah kapasitas dirinya. Begitu juga dengan anak yang merasa dirinya pintar dan bisa mengerjakan tugas dengan baik lalu menganggap bahwa dirinya memang cerdas dan berbakat sehingga ia tidak perlu melakukan upaya apa pun untuk mengembangkan dirinya atau memperbaiki kinerjanya. Ia menganggap dirinya akan tetap cerdas dan berbakat dalam situasi dan kondisi apa pun.
Hasil PISA 2018 memberikan wawasan penting tentang Pola Pikir Berkembang (PPB)) di kalangan murid Indonesia. PISA, yang merupakan Program for International Student Assessment yang dilakukan oleh OECD, pada tahun 2018 untuk pertama kalinya memasukkan instrumen untuk mengukur keyakinan siswa tentang kelenturan kecerdasan.
Data dari hasil PISA menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia cenderung memiliki mindset tetap (fixed mindset) dibandingkan dengan mindset berkembang (growth mindset). Sebagian besar murid berusia 15 tahun di Indonesia tidak percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat berkembang dengan usaha dan belajar. Ini berdampak pada performa akademik mereka yang lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga dan negara berpendapatan menengah lainnya.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 60% siswa di Indonesia setuju atau sangat setuju dengan pernyataan bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang tidak bisa diubah banyak, yang menunjukkan bahwa mayoritas siswa di Indonesia memiliki pola pikir tetap (fixed mindset). Ini kontras dengan mayoritas siswa di negara-negara OECD yang sebagian besar tidak setuju dengan pernyataan tersebut.
Selain itu, PISA 2018 menemukan bahwa siswa yang memiliki pola pikir bertumbuh, dan percaya bahwa kecerdasan serta kemampuan bisa ditingkatkan dengan usaha, cenderung memiliki kinerja akademik yang lebih baik, terutama dalam membaca. Siswa dengan pola pikir bertumbuh di seluruh negara OECD mencetak 32 poin lebih tinggi dalam membaca dibandingkan dengan siswa yang memiliki pola pikir tetap, setelah memperhitungkan profil sosial-ekonomi siswa dan sekolah.
Temuan ini menekankan pentingnya upaya pendidikan untuk mengubah keyakinan siswa Indonesia tentang kecerdasan dan kemampuan, serta menunjukkan potensi dampak positif dari mindset berkembang terhadap motivasi, efikasi diri, dan hasil akademik.
Dalam proses pembelajaran, guru memiliki peran penting untuk menumbuhkan pola pikir bertumbuh pada murid-muridnya. Guru yang memahami dan menerapkan konsep PPB dapat memberikan dukungan sosial emosional yang dibutuhkan murid.
Guru perlu menciptakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan sehingga setiap murid merasa dihargai, termotivasi dan didukung dalam perjalanan belajar mereka. Dalam suasana belajar yang aman dan menyenangkan tersebut, murid-murid akan belajar bahwa :
- Kegagalan adalah hal yang wajar. Gagal dalam proses belajar adalah hal yang wajar. Mungkin saja murid merasakan emosi seperti marah, kecewa atau sedih ketika mengalami kegagalan. Guru dapat membantu siswa menerima dan memproses perasaannya, kemudian memfasilitasi siswa untuk belajar dari kegagalannya dan mencoba kembali. Dalam penerapannya, guru dapat memberikan umpan balik konstruktif yang fokus pada usaha dan proses, bukan hanya hasil akhir. Misalnya, memuji siswa untuk kerja keras mereka dan strategi yang digunakan, bukan hanya nilai yang diperoleh.
- Tidak takut untuk belajar dan mencoba hal baru. Dalam lingkungan aman dan menyenangkan yang terbuka pada kegagalan sebagai bagian dari proses belajar, hal baru bukanlah hal yang menakutkan. Hal baru justru menjadi sesuatu yang menarik untuk dijelajahi dan dipelajari. Di dalam lingkungan belajar yang aman dan menyenangkan, murid akan bersikap terbuka dan tidak takut mencoba hal baru.
- Membangun ketangguhan dan daya juang (Resilience). Konsep PPB menekankan bahwa kesulitan dan tantangan adalah kesempatan untuk berkembang. Guru dapat membantu siswa mengembangkan ketangguhan dan daya juang dengan mendorong mereka untuk melihat tantangan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Misalnya, dengan mengajarkan siswa tentang pentingnya ketekunan dan bagaimana menghadapi rintangan dengan sikap positif. Guru bisa memberikan contoh nyata dari orang-orang yang berhasil melalui upaya gigih.
- Menerima dan menghargai umpan balik. Orang dengan pola pikir bertumbuh bisa menerima dan menghargai umpan balik dari orang lain. Mereka dapat fokus pada masukan yang membantunya untuk memperbaiki diri dan mengembangkan kemampuannya.
- Menumbuhkan motivasi intrinsik. Dalam PPB, ada keyakinan bahwa usaha dan dedikasi adalah kunci untuk mencapai keberhasilan. Penerapan disiplin positif yang konsisten akan meningkatkan motivasi intrinsik murid, sehingga murid terdorong untuk belajar pengetahuan dan pengembangan diri, bukan hanya untuk mendapatkan nilai. Guru dapat mendorong siswa untuk menetapkan tujuan belajar pribadi dan merayakan kemajuan mereka dalam mencapai tujuan tersebut, bukan hanya hasil akhir.
Pemanfaatan PPB di kelas memiliki potensi besar untuk meningkatkan motivasi dan pembelajaran siswa, namun terdapat beberapa miskonsepsi umum yang dapat menghambat efektivitasnya jika tidak dipahami dengan benar. Berikut adalah beberapa miskonsepsi yang mungkin dilakukan guru ketika mencoba menerapkan growth mindset di kelasnya: