aminherwansyah

Kurtilas Kurikulum Instan ?

Blog Amin Herwansyah | 7 Desember 2014

Senjakala Kurikulum Instan
Oleh: DR. Nusa Putra
Instanisme adalah musuh abadi pendidikan sejati. Keputusan menghentikan Kurikulum 2013 merupakan sikap tegas bahwa keinstanan harus tidak mendapat tempat, bahkan celah dalam pendidikan.

Jika ada alasan lain, anggap saja itu alasan tambahan yang memperkuat. Seorang teman, penggiat lembaga swadaya masyarakat yang berkutat dengan pendidikan yakin, penghentian Kurikulum 2013 lebih dikarenakan namanya yang membawa sial, tiga belas.

Bukan tidak ada hal baik dalam Kurikulum 2013. Banyak orang yang memiliki kapasitas mumpuni dalam bidang pendidikan dan bidang lain pada mulanya sangat mendukung kurikulum ini. Bahkan beberapa di antaranya rela menjadi bintang iklan yang memperkenalkan kurikulum baru ini. Namun, dalam perjalanannya banyak di antara mereka membuat pernyataan atau tulisan yang secara tegas mempersoalkan kurikulum tersebut.

Keinstanan penyusunan kurikulum ini yang sangat terlihat dari ketergesa-gesaan proses pembuatannya telah menimbulkan sejumlah anomali yang sangat merugikan negara dalam bidang keuangan. Dari segi isi terjadi penjungkirbalikan nalar proses perumusan kurikulum.

Isi materi yang dijabarkan menjadi buku telah dilakukan. Tetapi kompetensi inti yang menjadi standar pengembangan isi materi justru dibuat belakangan. Padahal kurikulum ini menggunakan pendekatan standar. Seharusnya isi materi pelajaran dikembangkan berdasarkan standar yang lebih dulu dirumuskan. Bukan sebaliknya. Karena itu jika dokumen kurikulum ini dibaca dengan cermat akan ditemukan banyak ketidakkonsistenan internal. Wajar jika para guru menjadi bingung.

Kebingungan juga dirasakan oleh mereka yang ditugaskan sebagai pihak yang melatih para guru. Itulah sebabnya kebanyakan guru malah bingung saat pulang dari pelatihan. Karena para narasumber memberikan pandangan yang bukan saja berbeda, bahkan saling bertentangan.

Banyak gagasan besar yang menjadi unggulan atau kelebihan kurikulum ini, tidak dijabarkan menjadi uraian praktis yang bisa membantu para guru untuk menerapkannya dalam praktik nyata proses pembelajaran. Karena itu naskah kurikulum ini lebih mirip draf buku ajar yang belum dirinci menjadi pokok bahasan yang mudah dipahami.

Keseluruhan kelemahan yang disebutkan di atas merupakan akibat niscaya dari ketergesa-gesaan karena dorongan sangat kuat agar kurikulum ini segera dilaksanakan pada masa akhir jabatan rezim yang sedang berkuasa. Pastilah cara pandang dan pola pelaksanaan seperti ini sama sekali bertentangan dengan proses pendidikan yang sejatinya harus terencana, terstruktur, terukur dan terbuka.

Para pendukung kurikulum ini, terutama menteri pada saat itu, boleh dikatakan bersikap kurang terbuka dan anti perbedaan. Sungguh sama sekali tidak ada celah yang diberikan bagi mereka yang menjadi pengeritik kurikulum ini. Cilakanya, pendukung yang mendapat keuntungan secara materi bahkan menuding siapa pun yang tidak setuju pada kurikulum ini sebagai orang yang tidak mengerti paedagogi baru yang paling mutakhir. Sungguh caranya menuduh lebih menunjukkan bahwa dia demagog daripada paedagog.
Dari sudut sejarah kurikulum di Indonesia, harus tegas dikatakan si penuduh itu adalah orang yang tidak faham duduk soal. Tidak bagus rasanya jika disebut dia bodoh. Dia mungkin tidak sempat membaca, atau bahkan belum tahu bahwa pendekatan saintifik yang jadi andalan dalam kurikulum baru ini pernah dirumuskan dengan lebih baik, rinci dan lebih jelas pendasaran paedagoginya dalam Kurikulum 1986 yang dikenal dengan Pendekatan Keterampilan Proses yang memperkenalkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Jika ditelaah dengan saksama, bagaimana kedua pendekatan itu dijabarkan menjadi pedoman praktis dalam proses pembelajaran, Pendekatan Keterampilan Proses bukan saja lebih canggih, juga lebih rinci, lengkap dan terstruktur dengan lebih banyak pilihan strategi pembelajaran untuk dipilih guru.
Secanggih dan semutakhir apapun pendekatan paedagogis yang menjadi dasar bagi praktik pendidikan, tidak akan banyak gunanya jika tidak dijabarkan menjadi pedoman praktis sehingga dapat diterapkan dalam proses pembelajaran yang nyata di dalam dan luar kelas. Karena proses pembelajaran yang nyata membutuhkan gagasan yang membumi, praktis dan mudah dilaksanakan. Bukan filosofi canggih yang aneh-aneh.

Sebagai contoh, kecerdasan majemuk, dan revolusi belajar kuantum adalah gagasan mutakhir yang didasarkan pada penelitian mutakhir tentang cara kerja otak. Di berbagai tempat telah dibuktikan efektivitas dan keberhasilannya. Lantas, apakah keduanya bisa begitu saja diterapkan di sini?

Gardner si perumus kecerdasan majemuk mengingatkan dengan keras bahwa faktor budaya, kesiapan, dan realitas sosiologis harus sangat diperhitungkan untuk menggunakan temuannya. Itulah sebabnya ia memberi kebebasan pada siapa pun yang ingin menggunakan pendekatannya secara kreatif merumuskan model sesuai dengan konteks sosial budaya tempat pendekatan itu akan digunakan. Tak usah heran jika di Amerika Serikat, Cina dan Jepang, lahir beragam model dan strategi untuk menerapkannya.

Jadi, dalam perumusan kurikulum kemutakhiran dan kecanggihan dasar-dasar paedagogi tidaklah memadai. Dibutuhkan lebih dari sekadar itu. Realitas pendidikan secara keseluruhan harus sangat diperhitungkan.
Pun, keprihatinan tentang rendahnya mutu pendidikan kita, dan niat baik untuk menyiapkan generasi emas untuk menyongsong dan mengantisipasi masa depan, tidak dapat dilakukan dengan cara instan dan nalar rezim yang dibatasi oleh masa akhir kekuasaan. Butuh lebih dari sekadar itu. Jika dipaksakan dengan cara instan dan nalar rezim, dapat dipastikan yang akan tumbuh kembang bukan generasi emas, tetapi generasi lemas.

Di mana pun di dunia ini, perubahan kurikulum membutuhkan waktu untuk permusan, ujicoba dan mendapat masukan dari pemangku kepentingan secara terbuka dan demokratis, serta harus dikerjakan dengan sangat hati-hati. Harus melibatkan semua pemangku kepentingan terutama orang tua murid dan guru. Kurikulum itu tidak bisa dan tidak boleh dikerjakan oleh hanya segelintir elit, baik itu elit intelektual dan elit kekuasaan. Sebab kurikulum itu bukan saja akan menentukan hari depan, juga menentukan nasib orang banyak.
Kita harus mengambil pelajaran sangat berharga dari pengalaman yang sangat mahal ini. Bahwa kurikulum tidak bisa dikerjakan dengan instan dan pendidikan tidak boleh dikelola dengan nalar rezim yang hanya berorientasi kuasa.
Inilah nasib Kurikulum 2013, sesuai dengan namanya Kurtilas. Kini ia jadi tilas atau masa lalu. Semoga pantas jadi petilasan.

PENDIDIKAN TIDAK DAPAT DITENTUKAN DENGAN NALAR KUASA, TETAPI NALAR BUDAYA.


Nusa putra
Penulis buku menulislah seperti sholat

Disebarkan oleh Pak Wijaya Kusumah di Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar